Background

Peristiwa Mandor

Jumpa lagi di Voluci Blog saya tidak akan memperpanjang lebar basa-basinya, langsung saja ke informasinya saja ok??? ini dya......

Peristiwa Mandor SEJARAH PERISTIWA MANDOR bukti kesadisan tentara Jepang Peristiwa Mandor Peristiwa Mandor adalah peristiwa pembantaian massal yang menurut catatan sejarah terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. Peristiwa Mandor ini sendiri sering dikenang dengan istilah Tragedi Mandor Berdarah yaitu telah terjadi pembantaian massal tanpa batas etnis dan ras oleh tentara Jepang dengan samurai. Peristiwa ini terjadi di daerah Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Awal Terjadi Peristiwa Peristiwa mandor adalah sebuah peristiwa masa kelam yang pernah terjadi di kalimantan barat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1943-1944 di daerah Mandor kabupaten landak Tak sedikit kaum cerdik pandai, cendikiawan, para raja, sultan, tokoh masyarakat maupun pejuang lainnya gugur sebagai kesuma bangsa atas kebiadaban Jepang kala itu. Menurut sejarah hampir terdapat 21.037 jumlah pembantaian yang di bunuh oleh Jepang, namun jepang menolaknya dan menganggap hanya 1.000 korban saja. Zaman pendudukan Jepang lebih menyeramkan daripada masa pendudukan Belanda. Peristiwa mandor terjadi akibat ketidaksukaan penjajah Jepang terhadap para pemberontak. Karena ketika itu Jepang ingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di Bumi Kalimantan Barat. Sebelum terjadi peristiwa mandor terjadilah peristiwa cap kapak dimana kala itu pemerintah Jepang mendobrak pintu - pintu rumah rakyat (Tionghoa, Melayu, Maupun Dayak) mereka tidak ingin terjadi pemberontak-pemberontak terdapat di kalimantan barat. Meskipun demikian ternyata menurut sejarah yang dibantai bukan hanya kaum cendekiawan maupun feodal namun juga rakyat-rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Tidak diketahui apakah karena tentara Jepang memang bodoh atau apa, kala itu pisau dilarang oleh penjajah Jepang. Jepang memang telah menyusun rencana genosida untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalbar kala itu. Sebuah harian Jepang Borneo Shinbun, koran yang terbit pada masa itu mengungkap rencana tentara negeri samurai itu untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang. Tanggal 28 Juni diyakini sebagai hari pengeksekusian ribuan tokoh-tokoh penting masyarakat pada masa itu. Kronologi Peristiwa Masuknya tentara pendudukan Jepang bulan Juni tahun 1942 di Kalbar, ditandai dengan tindak kekerasan perampasan, perampokan, pemerkosaan dan penindasan rakyat. Hingga akhirnya seluruh suku, pemuka masyarakat, raja dan panembahan di Kalbar berkumpul dan bermusyawarah bagaimana menangani tentara pendudukan Jepang yang bertindak semena-mena. Namun, musyawarah tersebut tercium oleh Jepang karena ada mata-mata Jepang yang juga orang Indonesia ikut dalam musyawarah itu. Jepang tambah curiga ketika datang dua orang utusan dari Banjarmasin yakni dr Soesilo dan Malay Wei, dimana secara diam-diam dua tokoh tersebut menyampaikan berita bahwa akan ada gerakan pemberontakan terhadap tentara pendudukan Jepang sekitar bulan Januari 1944. Sialnya, rencana pemberontakan tersebut diketahui oleh tentara pendudukan Jepang sehingga mulailah terjadi penangkapan. Pembunuhan besar-besaran terjadi pada tanggal 20 Rokoegatsu 2604 atau tanggal 28 Juni 1944. Di suatu siang kendaraan truk tertutup kain terpal berhenti di depan Istana Raja Mempawah. Serdadu bersepatu selutut dan topi yang berjumbai ke belakang serta pinggang yang digelayuti "samurai" turun terburu-buru menuju Istana. Dengan alasan mengajak berunding, serdadu "Dai Nippon" itupun menciduk Raja Mempawah. Kemudian menangkap pula Panangian Harahap dan Gusti Djafar, teman baik sang Raja. Mereka bertiga dengan tangan terikat diberi sungkup kepala terbuat dari bakul pandan, lalu digiring ke atas truk yang sudah menunggu dari tadi. Serdadu yang lain dengan cekatan menempeli istana dan rumah kedua sahabat raja dengan plakat bertuliskan huruf kanji. Bunyinya "Warui Hito" yang artinga orang jahat. Ternyata saat itu tak cuma di rumah itu saja yang ditempeli. Banyak sekali rumah-rumah di wilayah Kalbar yang di atas pintunya tertempel "Warui Hito". Kalau sudah begitu, penghuninya tak akan kedatangan tamu lagi, karena sudah dicap jahat. Masyarakat umum pun tak berani bertandang ke situ. Sebab mereka tahu betul, jika berani mendekat apalagi bertamu, berarti tak lama lagi rumahnya bakal ditempeli dan dirinya disungkupi untuk dinaikkan ke atas truk pula. Sehingga terjadilah apa yang dikenal dengan "Oto Sungkup". Mereka ditangkap dengan disungkup bakul, dibawa ke tempat pembantaian yang sekarang dinamakan Makam Juang Mandor. Setibanya di Mandor, mereka yang ditangkap diturunkan dari truk dan disuruh menggali sendiri lubang tempat mereka bakal dikuburkan. Setelah lubang tersedia barulah Tentara Jepang dengan tanpa perikemanusiaan menyiksa dan memancung satu per satu leher korban dengan pedang samurainya. Sehingga terjadilah peristiwa yang dikenal dengan "Mandor Bersimbah Darah". Sungguh mengenaskan, badan yang terkubur terpisah dari kepala. Pembantaian sadis seperti itu terus berlanjut hingga tahun 1945, tentara pendudukan Jepang tak kenal kompromi terus menangkap dan membunuh rakyat Kalbar yang dianggap pembangkang dengan dalih ingin mendirikan negara Borneo Barat dari penjajahan. Saksi mata TNR Simorangkir yang pada saat itu pegawai kantor pendaftaran tanah di kota Mempawah Kabupaten Pontianak mengisahkan pengalamannya. Waktu itu tahun menunjukkan pada angka 1945, meski kalah populer dengan- tahun "Teno Heika" Jepang 2605. Rupanya angka 45 menjadi pedoman pengisian tawanan ke dalam truk sungkup. Jumlah 45 orang agaknya dijadikan target korban yang ternyata dibawa ke daerah Mandor. Suatu saat cerita Simorangkir, melihat ada dua truk yang berhenti di depan penjara Mempawah. Sebuah truk diantaranya sudah tertutup rapat dengan terpal. Dua serdadu Jepang dengan samurai melintang di badan bersiaga duduk di kursi rotan yang diletakkan di atas terpal yang menutupi tumpukan manusia. Sementara truk yang satu masih belum tertutup rapat, mungkin belum memenuhi target 45. Tanpa diduga, seorang serdadu Jepang memanggil Simorangkir dan Djafar yang kebetulan berada tak jauh dari penjara untuk segera naik ke atas truk. Mereka berdua tak tahu kalau isi truk tadi adalah calon-calon mayat. Namun tak disangka, keajaiban tiba-tiba muncul. Seorang serdadu Jepang lainnya melihat Simorangkir dan Djafar naik ke truk bukan dari dalam penjara, memerintahkannya supaya turun lagi dan segera pulang. Sebagai gantinya, serdadu itu memanggil dua anggota polisi yang sedang berjaga-jaga di mulut jalan raya untuk naik ke truk. Agaknya kedua polisi yang juga putra bangsa itu tak tahu dirinya dijadikan alat pemenuh target 45 "Warui Hito", truk itu pun segera ditutup terpal rapat-rapat dan berjalan beriringan. Konon, ada saja tahanan yang dapat meloncat dari dalam truk guna menyelamatkan diri. Namun serdadu yang berjaga di truk tak berusaha mengejarnya. Tapi dengan santai meski bertampang garang, dia menjemput korban penggantinya, rakyat yang ditemui di sepanjang perjalanan menuju Mandor. Asal di dalam truk tetap berisi 45 orang. Menurut para ahli-ahli sejarah, yang bertanggung jawab atas aksi pembantaian masal ini adalahSyuutizitiyo Minseibu. Secara garis besar, korban - korban pembantaian Jepang saat itu yang juga termasuk beberapa tokoh penting di Kalimantan Barat adalah : 1.Sultan-SultanPontinak 2.Pnembahan Sanggau Ade Muhammad Ari 3.Pangeran Adipati 4.Pangeran Agung 5.JE.Patiasina 6.Panembahan Ketapang Gusti Sauna 7.Panembahan Sintang Raden Abdullah Daru Perdana 8.Panembahan Ngabang Gusti Abdul Hamid 9.Tokoh Tionghoa : Tjhai Pin Bin, Tjong Tjok Men dan Thai Sung Hian. 10.dan tentunya rakyat-rakyat sipil yang tidak berdosa. Alasan Jepang Melakukan Pembantaian Sebenarnya pembantaian yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat tersebut memang mempunyai suatu maksud. Kalimantan Barat sendiri mempunyai lokasi yang strategis dan hanya mempunyai penduduk sekitar satu setengah juta jiwa. Selain itu Kalimantan Barat sendiri mempunyai wilayah yang sangat luas yaitu satu setengah kali luas pulau Jawa ditambah Madura dan Bali. Kalimantan sendiri pada waktu itu akan dijadikan seperti Manchuria dan Korea kedua. Pada waktu itu di Kalimantan Barat, semua orang yang berumur dua belas tahun ke atas semuanya akan dibunuh habis. Generasi sisanya sampai kanak-kanak akan dididik dengan ala Jepang ditambah dengan orang-orang jepang yang akan didatangkan nantinya sebagai transmigrasi. Maka jadilah Kalimantan barat lima puluh tahun mendatang sebagai “ Jepang beneran” dan itu merupakan rencana militer Jepang. Itulah sebabnya mengapa banyak kaum intelektual yang dibunuh pada saat pembantaian di kota Mandor tersebut. Sumber : Peristiwa Mandor Berdarah dalam Jejak Sejarah Relief peristiwa mandor Masa penjajahan belanda dan jepang telah menorehkan banyak kenangan hitam dibenak para mereka yang pernah mengalami langsung peristiwa-peristiwa tersebut. Ada keasyikan tersendiri jika kita mendengar langsung penuturan dari para orang tua kita tersebut, karena fakta yang disampaikan lebih sahih. Seperti daerah-daerah lainnya diindonesia, demikian juga halnya Kalimantan barat juga pernah menjadi daerah jajahan belanda dan jepang. Masa penjajahan belanda bermula pada tahun 1778 saat kolonialis belanda dari batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Kolonial Belanda saat itu dan menempati daerah di seberang keraton kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Kemudian masa pendudukan jepang bermula dari tahun 1942 dan berakhir pada tahun 1945 oleh bom atom hirosima-nagasaki. Namun pendudukan jepang dikalimantan barat telah menciptakan kerusakan- berat dan sejarah paling kelam bagi Kalimantan barat. Kengerian dan terror luar biasa yang diukir penjajah jepang takkan muda terlupakan oleh generasi penerus terutama oleh keturunan mereka-mereka yang telah dihilangkan nyawanya dalam peristiwa mandor berdarah yang terjadi pada tahun 1943-1944 dan telah menelan nyawa kira-kira 21.037 jiwa yang terdata disebuah daerah bernama Mandor. Peristiwa tersebut adalah peristiwa yang sangat tragis karena pembunuhan yang dilakukan telah memotong satu generasi terbaik pada masa itu, orang-orang yang dianggap berbahaya bagi pendudukan jepang diculik, disungkup dan berakhir nyawanya diujung samurai jepang disebuah kebun karet mandor. Mulai dari keluarga kesultanan, para intelektual, pedagang, sampai orang biasa dari berbagai macam etnis menjadi korban keganasan jepang, bahkan saking banyaknya orang-orang yang harus eksekusi, dilahan pembantaian tersebut kemudian hari terdapat banyak patahan-patahan samurai. Jumlah korban sebenarnya sendiri belum pernah terungkap secara resmi. Namun dari berbagai kesaksian baik dari korban yang lolos maupun dari pelaku tentara jepang yang masih hidup menggambarkan peristiwa itu sebagai peristiwa paling berdarah yang pernah ada dibumi Kalimantan barat. Berikut kesaksian-kesaksian kemudian hari : Tajima (Prajurit Kompetai Jepang) "saya angkat bedil serta bayonet dengan tangen yang gemetar dan dengan tuntunan sumpah serapah sang letnan yang hampir histeris. saya jalan perlahan lahan ke pria cina yang berdiri dengan muka ketakutan di samping lubang mayat,liang kubur yang ia bantu ketika menggalinya. Dalam hati saya meminta maaf kepadanya,dengan mata dipejamkan dan sumpah serapah letnan di kuping saya,saya mnancapkan bayonet tersebut ke tubuh pria tersebut yang menjadi tegan itu. Waktu saya membuka mata saya,saya melihat pria itu jatuh perlahan ke liang kuburnya. Pembunuh kriminal,begitu saya memanggil diri saya" Takahashi "Saya ingat dan masih punya catatan tentang jumlah korban yang tertangkap ataupun terbunuh secara masal pada sekitar bulan Juni 1944, yaitu 21.037 orang. Tapi saya kurang mengetahui dengan pasti apakah semua tawanan itu dibunuh di daerah Mandor. Akan tetapi tentang jumlah korban tersebut pernah tercatat dalam sebuah dokumen perang yang tersimpan di museum di Jepang," ucap Kiyotada Takahashi. Lim Bak Djue atau Djuanda Rimbawidjaja. "Dari orang Tionghoa yang menjadi korban Jepang, keluarga kami paling banyak," ujarnya. Tak tanggung-tanggung, 8 anggota keluarga besarnya dibantai tentara Jepang masa itu. Sultan Syarif Abubakar Sejak awal April, pemerintah Jepang di Pontianak mendengar isu akan adanya pemberontakan. Suasana kota Pontianak pun menjadi tegang. Rupanya ada yang memanfaatkan situasi itu untuk memancing di air keruh, tiba-tiba Jepang mencurigai keluarga Sultan Muhammad Alkadrie yang akan menjadi otak pemberontakan. Hari itu ribuan balatentara Jepang mengadakan operasi kilat penangkapan orang-orang yang dicurigai. Dengan membabi buta setiap orang yang dianggap mempunyai intelektualitas –terutama para ulama—ditangkapi. Sultan Muhammad sendiri bersama para punggawanya "dijemput" paksa balatentara Jepang dari istananya. Dengan disaksikan istri, anak cucu, punggawa dan sebagian rakyatnya, raja yang ahli ibadah itu dirantai dan kepalanya ditutupi kain hitam, sebelum dibawa pergi. Yang mengharukan, sebelum dibawa pergi Sultan Muhammad Alkadrie memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya seraya bertakbir. Rombongan pembesar kerajaan lalu dibawa ke depan markas Jepang di sisi lain sungai Kapuas (sekarang menjadi markas Korem). Di tempat itu satu persatu kepala mereka dipenggal, kemudian dimasukkan ke truk dan dibawa pergi entah kemana. Beruntung, tujuh bulan kemudian –setelah Jepang sudah angkat kaki– jasad Sultan Muhammad Alkadrie berhasil ditemukan di Krekot. Penemuan itu sendiri berkat laporan salah seorang penggali lubang makam yang berhasil lolos dari pembantaian serdadu Jepang. Demikian peristiwa itu kemudian diperingati sebagai peristiwa mandor setiap tanggal 28 juni menjadi hari berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Adapun nama-nama yang menjadi korban antara lain : Setidaknya ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, dr Rubini, Kei Liang Kie, Ng Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Atmodjo, Abdul Samad, dr Soenaryo Martowardoyo, M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran, E Londok Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, dr RM Ahmad Diponegoro, dr Ismail, Ahmad Maidin, Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. (sumber : Catatan Syafaruddin Usman MHD dalam Harian Equator). Mengutip kalimat bapak Proklamator kita " Jasmerah" jangan sekali-sekali melupakan sejarah, hendaknya semua peristiwa yang telah terjadi dimasa lalu baik atau buruk menjadi pelajaran berharga bagi kita generasi ini, bahwa kadang keserakahan manusia membuat kita menjadi penindas bagi golongan lain, semua hal kejam yang bisa dilakukan manusia ternyata kadang hanya bermuara dari satu motif yaitu motif kekuasaan terhadap sumber-sumber ekonomi yang penting, kemudian menjadi tindakan politis yang membuat orang lain menjadi budak bagi kepentingan kita. Pertanyaannya, dimanakah posisi Negara kita saat ini?

Categories: Share

1 komentar:

  1. Indra Ganie :

    Pertama kali saya mendapat info tentang pembunuhan massal Di Kalbar, ketika saya masih SD. Saya baca buku sejarah dan saya temukan info singkat tentang peristiwa tersebut. Seiring berjalan waktu makin lama saya makin tahu, mungkin karena saya suka sejarah. Saya terkejut bahwa jumlah korbannya begitu banyak. Saya menilai bahwa peristiwa ini harus dikenang atau diperingati secara nasional, mengingat jumlah korban yang besar, mencakup orang berbagai latar belakang identitas (profesi, suku, bangsa, agama). Kita ingat bahwa pertempuran di Surabaya dikenang secara nasional sebagai "Hari Pahlawan" karena jumlah korban besar dan mencakup orang dengan latar belakang yang beragam pula. Saya mendapat kesan bahwa Jepang adalah (mantan) penjajahan yang terlupakan. Agaknya Jepang beruntung bahwa perioda penjajahannya terbilang singkat dan terjepit pula. Sejak awal penjajahan hadir di Nusantara pada 1511 – ketika Portugis mencaplok Malaka – hingga Kapitulasi Kalijati 1942 yang mengakhiri penjajahan Belanda, perioda ini adalah full perioda penjajahan Barat. Setelah Perang Dunia-2 berakhir pada 1945, Indonesia harus kembali berhadapan dengan imperialisme Barat – dengan istilah “Sekutu” – dan berakhir pada 1962, saat Irian Barat harus diserahkan Belanda. Dengan demikian ingatan bersama bangsa ini yang paling dalam adalah penjajahan Barat. Untuk waktu ke depan, tidak hanya perihal penjajahan Barat (termasuk segala kejahatannya) yang disimak lebih jauh, namun juga perihal pendudukan Jepang (1942-5). Walau “hanya” sekitar 3,5 tahun, pendudukan Jepang berdampak luar biasa. Dari segi jumlah warga yang tewas terdapat angka yang begitu fantastis – sekitar 4 juta, akibat kekejaman dan kelalaian pemerintah pendudukan. Saya menilai tulisan, penelitian, monumen atau apapun yang dapat mengingat perioda pendudukan Jepang masih relatif sedikit dibanding hal yang sama dengan penjajahan Barat. Juga harus diwaspadai bahwa Jepang belum berhenti bermimpi menjadi pemimpin Asia-Pasifik, dan mimpi tersebut mendapat restu diam-diam dari Amerika Serikat – mantan musuhnya pada Perang Dunia-2. AS butuh Jepang untuk membendung pengaruh Cina dan Korea Utara. Di dalam negeri Jepang sempat muncul suara-suara yang ingin mengubah konsep militer Jepang yang defensif menjadi ofensif, terlebih Jepang terlibat sengketa wilayah dengan Cina. Terkait dengan Indonesia, harus diwaspadai penjajahan Jepang jilid-2 antara lain melalui berbagai bantuan yang sebagian besar adalah berbentuk pinjaman – artinya HUTANG! Ini jelas membebani APBN kita yang seharusnya berguna untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oh ya, ada lagi yang perlu diingat bahwa apa yang disebut “Indonesia Japan Economic Partnership Agreement” / IJEPA yang diteken pada 2007 dinilai sejumlah anak bangsa sebagai bentuk penjajahan Jepang jilid-2, antara lain IJEPA merupakan sebuah bentuk strategi keamanan energi Jepang, terutama untuk gas alam dan batubara. Pengiriman gas ke Jepang bukannya tanpa risiko, karena kedaulatan dan ketahanan energi (energy security) Indonesia akan terancam, karena gas bukanlah energi terbarukan. Krisis energi yang saat ini tengah mengemuka dalam politik global hendaknya menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk melakukan pengamanan pasokan energi di dalam negeri, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, pertanian dan industri dalam negeri secara berkelanjutan. Dengan demikian, JEPANG BELUM BERHENTI MELANJUTKAN PENJAJAHAN DI INDONESIA!

    Wassalam,


    Indra Ganie
    Bintaro Jaya, Kabupaten Tangerang - Banten

    BalasHapus